Selasa, 29 Mei 2012

TUGAS
MEDIA JURNALISTIK













0LEH :
NARIATI BAKE
A2 D1 09122

 JURUSAN PENDIDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN 
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012




















Media Jurnalistik menurut para ahli

Onno W. Purbo

Sejak awal berdirinya negara kesatuan Indonesia, sejarah menunjukan kontribusi kampus-kampus terhadap banyak perubahan mendasar di negeri ini. Kaum terpelajar muda menampakan dirinya sebagai tenaga pendorong pembaruan bangsa. Sejarah mengukir pengorbanan yang luar biasa dari kaum muda ini dalam mengarahkan bangsa ini ke zaman reformasi yang kita nikmati
Pertanyaannya – apakah kaum terpelajar muda ini harus terus menerus menggunakan pola aksi demonstrasi fisik dan berhadapan dengan PHH dalam menyampaikan aspirasinya? Berapa banyak tumbal kaum terpelajar muda lagi yang harus berkorban untuk ibu pertiwi? Mungkinkah jumlah pengorbanan jiwa & raga kaum intelektual muda dikurangi tanpa mengurangi tujuan mulia yang ingin dicapai? Alternatif apa yang mungkin digunakan?
Sun Tzu ksatria Cina tahun 500 S.M. dalam bukunya The Art of War mengatakan ". . . attaining one hundred victories in one hundred battles is not the pinnacle of excellence. Subjugating the enemy's army without fighting is the true pinnacle of excellence." Singkat seninya – bagaimana mencapai tujuan & musuh kalah tanpa bertempur dan berkorbanan secara fisik! Teknik information warfare & psychological warfare melalui jaringan media massa barangkali menjadi kuncinya.
Media massa menjadi alternatif yang paling sederhana yang memungkinkan fungsi penyeimbang terus di emban tanpa perlu mengorbankan kaum intelektual muda dalam proses pencapaian tujuan-nya karena harus secara fisik berhadapan dengan PHH. Yang lebih gila lagi barangkali – jika berbentuk jaringan media jurnalistik kampus secara mandiri dimotori kaum intelektual muda.
bagaimana jika kaum intelektual muda ini membangun jaringan media jurnalistik kampus yang tersebar di nusantara mengkaitkan semua kampus yang ada. Keberadaan jaringann media cetak, media radio, media TV bahkan media Internet di kampus secara mandiri & swadana akan mempunyai nilai strategis sangat tinggi sebagai penyeimbang bangsa – bahkan mungkin menjadi MPR tandingan jika di dukung dengan informasi yang lebih lengkap dan akurat di bandingkan MPR-nya Pak Amin.
Koran kampus &  Radio Kampus bukan barang baru bagi sebagian kampus di Indonesia. Dasar kemampuan jurnalistik mahasiswa telah ada & tinggal di poles supaya menjadi lebih profesional yang secara simultan harus di barengi strategi regenerasi. Yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah membuat koran-koran ini menjadi sebuah kesatuan aksi dalam jaringan informasi memanfaatkan infrastruktur yang ada. Teknologi warung internet yang memungkinkan akses Internet dengan murah dan terjangkau akan memicu kemudahan ini semua.
Bayangkan impact yang akan dihasilkan jika koran & radio kampus di 1300 PTS seluruh Indonesia dapat dikaitkan menjadi satu kesatuan. Bayangkan jika juta-an mahasiswa dapat memfungsikan dirinya sebagai reporter & pemberi fakta yang aktual dan akurat. Bayangkan jika hasil analisis mendalam dari ribuan kaum intelektual muda dalam bentuk laporan, tugas akhir, paper dll dapat terdistribusi dalam platform knowledge infrastruktur yang dibangun secara mandiri & swadana.
    Efek jaringan media jurnalistik kampus dengan kekuatan ribuan reporter, ribuan outlet jelas akan menjadi penyeimbang yang tidak bisa di sepelekan. Sekarang saja koran virtual Mas Budi detik.com di Internet yang dengan kekuatPEKAN MEDIA DAN JURNALISTIK    
Hari Minggu kemarin tepatnya tanggal 25 Februari 2012, KM ITB dan HIMASITH Nymphaea menyelenggarakan acara Pekan Media & Jurnalistik ITB 2012 di Auditorium IPTEKS CC Timur ITB. Pada pekan media & jurnalistik ini diselenggarakan dua acara workshop, yaitu workshop jurnalistik dan workshop multimedia. Workshop ini dihadiri oleh 100 orang peserta, yang terdiri dari perwakilan seluruh himpunan mahasiswa jurusan di ITB, civitas akademika ITB,  maupun masyarakat umum. Terdapat 3 sesi dalam acara workshop pekan media & jurnalistik ini. Sesi pertama adalah sesi sharing-sharing mengenai topik “Jurnalisme Dasar” dengan pembicara Mas Alex dari Kompas TV. Pada sesi ini mas Alex berbagi ilmu mengenai apa itu jurnalistik -adalah pengumpulan, pemilahan, verifikasi, pengemasan, penyiraran informasi kepada masyarakat-, serta berbagi pengalaman mengenai dunia jurnalistik yang telah mas Alex geluti; mengenai bagaimana jurnalistik dapat menjadi sebuah media pencerdesan, bagaimana seorang jurnalistik harus memegang kode etiknya, bagaimana kiat-kiat menjadi seorang best practice dalam dunia jurnalisme, dan masih banyak lagi.
 kedua diisi oleh mas Firman Firdaus, seorang editor senior majalah National Geographic Indonesia. Kali ini mas Firman memberi kiat-kiat mengenai bagaimana menulis sebuah karya agar dapat menjadi karya ilmiah yang populer dengan kemasan yang menarik. Mas Firman mengatakan sebuah sains populer adalah sebuah tulisan biasanya berupa artikel untuk menyebarkan informasi yang ditunjukkan bukan untuk pakar terkait, melainkan untuk masyarakat. Metode menulis pun perlu diperhatikan seperti penentuan topik, penulisan judul yang baik, cara penyajian angka agar lebih mudah di baca oleh pembaca dalam penulisan artikel ilmiah, proporsi visual dengan teks di dalam artikel, dan lain-lain. Sedikit mengutip resep sukses dalam menulis yang ampuh dari mas Firman: MENULIS, MENULIS, DAN MENULIS! Teruslah berlatih menulis. terakhir pada pekan media dan jurnalistik ini adalah pelatihan mendesain layout majalah dengan Adobe InDesign. Pada workshop kali ini, seluruh peserta ditraining langsung mendesain layout majalah oleh Kang Panji, TG’06. Kang Panji sendiri adalah seorang layouter di majalah energi. Pada workshop ini peserta sangat antusias. Pemilihan warna majalah, tata letak gambar dan proporsinya dengan teks yang ada di layout ternyata menjadi kunci mendesain sebuah majalah. Selain KM-ITB dan Nymphaea, berbagai himpunan lain pun turut mendukung keberjalanan acara ini antara lain MTI ITB, HIMA TG “TERRA”, HIMAFI, HMTL, HMS. Dengan adanya pekan media & jurnalistik ini, diharapkan mahasiswa ITB maupun masyarakat umum dapat ikut berkiprah dalam dunia jurnalistik, dengan mengemas jurnalistik itu sendiri sebagai sebuah media yang menarik sebagai sumber informasi.
Pengertian Jurnalistik
Pengertian istilah jurnalistik dapat ditinjau dari tiga sudut pandang: harfiyah, konseptual, dan praktis.
Secara harfiyah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasalnya dari bahasa Yunani kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.Secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.
1. Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).
2. Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” (expertise) atau “keterampilan” (skill) menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.
3. Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.
Secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian kedua ini, kita dapat melihat adanya empat komponen dalam dunia jurnalistik: informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi, dan media massa.
 Penyusunan Informasi
Informasi yang disajikan sebuah media massa tentu harus dibuat atau disusun dulu. Yang bertugas menyusun informasi adalah bagian redaksi (Editorial Department), yakni para wartawan, mulai dari Pemimpin Redaksi, Redaktur Pelaksana, Redaktur Desk, Reporter, Fotografer, Koresponden, hingga Kontributor..
Pemred hingga Koresponden disebut wartawan. Menurut UU No. 40/1999, wartawan adalah “orang yang melakukan aktivitas jurnalistik secara rutin”. Untuk menjadi wartawan, seseorang harus memenuhi kualifikasi berikut ini:
1. Menguasai teknik jurnalistik, yaitu skill meliput dan menulis berita, feature, dan tulisan opini.
2. Menguasai bidang liputan (beat).
3. Menguasai dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Teknis pembuatannya terangkum dalam konsep proses pembuatan berita (news processing), meliputi:
1. News Planning = perencanaan berita. Dalam tahap ini redaksi melakukan Rapat Proyeksi, yakni perencanaan tentang informasi yang akan disajikan. Acuannya adalah visi, misi, rubrikasi, nilai berita, dan kode etik jurnalistik. Dalam rapat inilah ditentukan jenis dan tema-tema tulisan/berita yang akan dibuat dan dimuat, lalu dilakukan pembagian tugas di antara para wartawan.
2. News Hunting = pengumpulan bahan berita. Setelah rapat proyeksi dan pembagian tugas, para wartawan melakukan pengumpulan bahan berita, berupa fakta dan data, melalui peliputan, penelusuran referensi atau pengumpulan data melalui literatur, dan wawancara.
3. News Writing = penulisan naskah. Setelah data terkumpul, dilakukan penulisan naskah.
4. News Editing = penyuntingan naskah. Naskah yang sudah ditulis harus disunting dari segi redaksional (bahasa) dan isi (substansi). Dalam tahap ini dilakukan perbaikan kalimat, kata, sistematika penulisan, dan substansi naskah, termasuk pembuatan judul yang menarik dan layak jual serta penyesuaian naskah dengan space atau kolom yang tersedia.
Setelah keempat proses tadi dilalui, sampailah pada proses berikutnya, yakni proses pracetak berupa Desain Grafis, berupa lay out (tata letak), artistik, pemberian ilustrasi atau foto, desain cover, dll. Setelah itu langsung ke percetakan (printing process).
Penyebarluasan Informasi
 yakni penyebarluasan informasi yang sudah dikemas dalam bentuk media massa (cetak). Ini tugas bagian marketing atau bagian usaha (Business Department) –sirkulasi/distribusi, promosi, dan iklan. Bagian ini harus menjual media tersebut dan mendapatkan iklan.
Media Massa
Media Massa (Mass Media) adalah sarana komunikasi massa (channel of mass communication). Komunikasi massa sendiri artinya proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak.
Ciri-ciri (karakteristik) medi massa adalah disebarluaskan kepada khalayak luas (publisitas), pesan atau isinya bersifat umum (universalitas), tetap atau berkala (periodisitas), berkesinambungan (kontinuitas), dan berisi hal-hal baru (aktualitas).
Jenis-jenis media massa adalah Media Massa Cetak (Printed Media), Media Massa Elektronik (Electronic Media), dan Media Online (Cybermedia). Yang termasuk media elektronik adalah radio, televisi, dan film. Sedangkan media cetak –berdasarkan formatnya— terdiri dari koran atau suratkabar, tabloid, newsletter, majalah, buletin, dan buku. Media Online adalah website internet yang berisikan informasi- aktual layaknya media massa cetak
Tahap-tahap pembuatannya adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan fakta dan data peristiwa yang bernilai berita –aktual, faktual, penting, dan menarik—dengan “mengisi” enam unsur berita 5W+1H (What/Apa yang terjadi, Who/Siapa yang terlibat dalam kejadian itu, Where/Di mana kejadiannya, When/Kapan terjadinya, Why/Kenapa hal itu terjadi, dan How/Bagaimana proses kejadiannya)
2. Fakta dan data yang sudah dihimpun dituliskan berdasarkan rumus 5W+1H dengan menggunakan Bahasa Jurnalistik –spesifik= kalimatnya pendek-pendek, baku, dan sederhana; dan komunikatif = jelas, langsung ke pokok masalah (straight to the point), mudah dipahami orang awam.
3. Komposisi naskah berita terdiri atas: Head (Judul), Date Line (Baris Tanggal), yaitu nama tempat berangsungnya peristiwa atau tempat berita dibuat, plus nama media Anda, Lead (Teras) atau paragraf pertama yang berisi bagian paling penting atau hal yang paling menarik, dan Body (Isi) berupa uraian penjelasan dari yang sudah tertuang di  berita.
Jurnalisme daring
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jurnalisme daring berasal dari gabungan kata ’jurnalisme ’, yang memiliki makna penyajian informasi dan fakta  secara luas melalui media media massa kepada publik, dan kata "daring’yang merupakan bentuk singkatan dari kata "dalam jaringan" (online), yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi dan media internet Dengan demikian, jurnalisme daring adalah sebuah metode baru penyajian informasi dan fakta dengan menggunakan bantuan atau perantara teknologi internet. Salah satu contoh dari perwujudan jurnalisme daring adalah weblog, atau yang sering disebut sebagai blog
1 Sejarah2 Prinsip-prinsip dasar jurnalisme daring3 Jenis jurnalisme daring4 Keuntungan5 Konsekuensi6 Referensi7 Pranala luar8 Catatan kaki
Keterlibatan media komputer dalam dunia jurnalisme dimulai sejak era 1970-1980 di mana saat itu teknologi sedang berkembang dengan sangat pesat. Metode menyimpan data, copy, dan paste juga sudah digunakan, yang akhirnya mengakibatkan kepada pemunduran tenggang waktu atau deadline. Proses pencetakan berita dalam format media cetak pun menjadi lebih mudah sehingga memungkinkan produksi secara massif. Hal ini akhirnya membawa kita semua kepada era 1990-an, di mana teknologi internet mulai dikembangkan. Teknologi nirkabel atau wireless pada notebook pun  diciptakan, yang pada akhirnya memudahkan pelaksanaan proses-proses jurnalistik . Lalu tibalah pada tanggal 19 Januari 1998, di mana mark Drudge mempublikasikan kisah perselingkuhan Presiden Amerika Serikat,dengan monica Lewinsky Tanggal tersebut lah yang disebut sebagai tanggal lahir Jurnalisme Daring, yang pada akhirnya berkembang di berbagai negara lain. Kemudian barulah pada tahun 2000-an, muncul situs-situs pribadi yang menampilkan laporan jurnalistik pemiliknya, yang kemudian disebut sebagai weblog atau blo
Prinsip-prinsip dasar jurnalisme daring
Paul Bradshaw menyebutkan bahwa ada lima prinsip dasar jurnalisme daring, yang terdiri dari
1.    Adaptabilitas atau kemampuan beradaptasi (Adaptabilty). Para  jurnalistik  daring dituntut agar mampu menyesuaikan diri di tengah kebutuhan dan preferensi publik. Dengan adanya kemajuan teknologi, jurnalis dapat menyajikan berita dengan cara membuat berbagai keragaman cara, seperti dengan penyediaan format suara , vidio , gambar, dan lain-lain dalam suatu berita ].
2.    Dapat dipindai (Scannability). Untuk memudahkan para audiens, situs-situs terkait dengan jurnalisme daring hendaknya memiliki sifat dapat dipindai, agar pembaca tidak perlu merasa terpaksa dalam membaca informasi atau berita .
3.    Interaktivitas (Interactivity). Komunikasi dari publik kepada jurnalis dalam jurnalisme daring sangat dimungkinkan dengan adanya akses yang semakin luas. Pemirsa (viewer) dibiarkan untuk menjadi pengguna (user). Hal ini sangat penting karena semakin audiens merasa dirinya dilibatkan, maka mereka akan semakin dihargai dan senang membaca berita yang ada .
4.    Komunitas dan percakapan (Community and Conversation). Media daring memiliki peran yang lebih besar daripada media cetak atau media konvensional lainnya, yakni sebagai penjaring komunitas. Jurnalis juga harus memberi jawaban atau timbal balik kepada publik sebagai sebuah balasan atas interaksi yang dilakukan publik tadi [8]
Jenis jurnalisme daring
[sunting] Keuntungan
Keuntungan jurnalisme daring adalah
1.    Audience Control. Jurnalisme daring memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para audiens untuk terlibat langsung dalam memilih dan mencari berita yang diinginkannya
2.    Non-Linearity. Informasi-infomasi dalam jurnalisme daring bersifat ‘independen’ atau dapat berdiri sendiri, sehingga audiens tidak perlu membaca urutan atau rangkaian berita lainnya untuk dapat memahami suatu masalah
3.    Storage and Retrieval. Jurnalisme daring memberikan kemudahan bagi audiens untuk menyimpan dan mengakses kembali informasi-informasi yang ada
4.    Unlimited Space. Dengan didukung oleh kapasitas internet yang sangat besar, jurnalisme daring dapat menyediakan informasi yang lengkap untuk audiens
5.    Immediacy. Informasi dalam jurnalisme daring dapat diakses secara langsung oleh audiens tanpa perantara orang ketiga
6.    Multimedia Capability. Jurnalisme daring memungkinkan tim  redaksi  untuk menyediakan berbagai bentuk informasi, seperti gambar ,vidio,suara, dan lain-lain
7.    Interactivity. Jurnalisme daring meningkatkan level interaktivitas antara audiens dengan setiap berita atau informasi yang diakses
[sunting] Konsekuensi
Konsekuensi jurnalisme daring adalah :
•    Rana mikro: Aspek teknologis dan teknis yang dimiliki internet  memungkinkan adanya perubahan konteks informasi atau berita dalam jurnalisme daring. Dengan kata lain, informasi-informasi yang disajikan dalam jurnalisme daring (internet) tidaklah terbatas hanya dengan satu bentuk cara saja, melainkan dengan beberapa macam bentuk cara, seperti gabungan antara gambar, suara, serta grafik. Selain itu, interaktivitas audiens pada jurnalisme daring lebih besar dibandingkan dengan jurnalisme konvensional.
•    Ranah  meso  : Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang media, mulai dipengaruhi oleh teknologi internet. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki teknologi internet menyebabkan organisasi-organisasi tersebut bergeser dari lahan jurnalisme konvensional ke jurnalisme daring. Jurnalisme daring juga membantu wartawan media dalam mencari dan mengumpulkan bahan-bahan berita. Selain itu, terjadi pula desentralisasi atau pembagian kerja di dalam pola kerja yang baru dan berbeda.
•    Ranah makro : Dengan akses-akses dan kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh teknologi internet, jurnalisme daring akhirnya menimbulkan sebuah pengaruh di mana informasi bersifat murah untuk dimiliki oleh semua orang / audiens. Semua orang menjadi sangat bergantung pada internet, dan media-media daring mulai mendukung kebutuhan audiens dengan penyediaan informasi yang lengkap dan mudah didapat oleh semua orang. Dengan hadirnya jurnalisme daring, masyarakat dimungkinkan untuk tidak hanya menjadi konsumen berita saja, tetapi juga sebagai produsen atas informasi.
[sunting] Referensi
•    Foust, James C. Online Journalism : Principles and Practices of News for The Web. Arizona, United States : Holcomb Hathaway Publishers. 2005.
•    Abrar, Ana Nadhya. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI. 200Ciri Utama Bahasa Jurnalistik
•    July 31, 2009 by novelis
•    Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message” menyatakan bahwa setiap media mempunyai tatabahasanya sendiri yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).
•    Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet.
•    Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.
•    1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
•    2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
•    3. Padat
Menurut. PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap  kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
•    4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
•    5.  Jelas           
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu  sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan  kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
•    6.Jernih           
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan  ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan  kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat.  Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
•    7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan  kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
•    8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan  aspek fungsional dan komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana  dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis  keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,  karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama  di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat  persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
•    9.  Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran  khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
•    10.  Logis
Logis berarti apa  pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor.. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-mo¬tif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
•    11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
•    12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu,  mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
•    13.   Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak  diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
•    14.  Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan,  tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
•    15.  Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain, pencuri mengambil  perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
•    16.  Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
•    17.  Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.
Dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
Pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata masyarakat, antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau istilah yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah. Kata-kata vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi, biasanya lebih banyak ditemukan pada pers popular lapis bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005: 5Dasar-Dasar Jurnalistik
Dasar-Dasar Jurnalistik

Oleh: Kristina Dwi Lestari
Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini cukup memberikan kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik pun saling bersaing kecepatan sehingga tidak ayal bila si pemburu berita dituntut kreativitasnya dalam penyampaian informasi. Penguasaan dasar-dasar pengetahuan jurnalistik merupakan modal yang amat penting manakala kita terjun di dunia ini. Keberadaan media tidak lagi sebatas penyampai informasi yang aktual kepada masyarakat, tapi media juga mempunyai tanggung jawab yang berat dalam menampilkan fakta-fakta untuk selalu bertindak objektif dalam setiap pember
Apa Itu Jurnalistik?
Menurut Kris Budiman, jurnalistik (journalistiek, Belanda) bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan dari peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat. Sebelumnya, jurnalistik dalam pengertian sempit disebut juga dengan publikasi secara cetak. Dewasa ini pengertian tersebut tidak hanya sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dsb., namun meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televisi. Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online journalism).
Jurnalistik atau jurnalisme, menurut Luwi Ishwara (2005), mempunyai ciri-ciri yang penting untuk kita perhatikan.
a. Skeptis
Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklus .
b. Bertindak (action)
Wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.
c. Berubah
Perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.
d. Seni dan Profesi
Wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
Sumber Berita
Hal penting lain yang dibutuhkan dalam sebuah proses jurnalistik adalah pada sumber berita. Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu pengumpulan informasi, sebagaimana diungkapkan oleh Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik (Luwi Iswara 2005: 67) berikut ini.
1.    Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita.
2.    Proses wawancara.
3.    Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik.
4.    Partisipasi dalam peristiwa.
Kiranya tulisan singkat tentang dasar-dasar jurnalistik di atas akan lebih membantu kita saat mengerjakan proses kreatif kita dalam penulisan jurnalistik.

SYARAT UTAMA     Menjadi Jurnalis (Profesional) di Indonesia
in Opini Umum by Ahmad Tombak Islam Al Ayyubi — 11 November 2011 at 10:56 | 3 comments —dibaca 458 kali

Suatu siang saya sedang mengunjungi kontrakan teman. Saya tinggal berdekatan dengannya selama awal kuliah, sebelum saya akhirnya pindah ke tempat keluarga. Selain untuk bersilaturahmi, saya berniat untuk pinjam buku yang penting bagi kuliah saya dalam bidang jurnalisme. Dosen saya menyuruh kami sekelas untuk mereview buku tersebut. Pengarangnya sering disebut sebagai ‘Nabi Jurnalisme’, dan banyak orang di Indonesia yang benar-benar menganggap beliau seperti itu, bahkan menganggap jurnalisme sendiri sebagai sebuah ‘agama’. Semuanya berjalan akrab, hingga akhirnya teman saya berkomentar tentang keinginan saya untuk pinjam buku, “Dulu gue ajak lo ngomongin buku ini, lo ga tahu apa-apa. Sekarang lo malah pinjam buku ini dari gue.”. Ia kemudian tertawa. Aku tahu ia bermaksud becanda. Mungkin kami sudah akrab, sehingga ia bisa selepas itu berbicara, tapi dalam hati saya yang sudah terikat dengan jurnalisme, saya sungguh sakit hati.
Bukan kesalahan dia berbicara seperti itu, ini adalah kegalauan rumit dalam hati saya. Perasaan ini mengendap begitu dalam pada alam bawah sadar saya. Sebenarnya saya harus ‘berterima kasih’ kepada teman saya tersebut. Dialah yang menjadi pemantik dari sakit hati ini. Saya tahu dia memang suka berbicara ‘seperti itu’, ditambah kenyataan bahwa saya orang yang sensitif. Saya sebenarnya benci cara orang memandang jurnalisme seperti itu. Saya benci jurnalisme dianggap sebagai sesuatu yang gampang. Saya benci orang tidak paham filosofi, ilmu, seni, dan teknik di dalamnya. Kita bahkan dapat temukan betapa banyak orang yang tidak bisa membedakan antara jurnalistik dengan jurnalisme. Jangan-jangan Anda adalah salah satu dari mereka?
Beberapa dosen saya membahas hal ini dalam beberapa kuliah. Mereka menganggap hal ini sebagai hal yang ‘spesial’. Begitu rumitnya masalah ini, sehingga mereka yang kebanyakan mantan wartawan itu hanya bertanya balik kepada kami, mahasiswanya. Ada juga yang menyindir secara halus dalam guyonannya. Seorang dosen Etika Jurnalisme mengungkapkannya secara ‘ketat’, seketat etika jurnalisme sendiri, “IPB, Institut Publisistik B*g*r. Jangan salahkan mereka yang memasuki bidang Anda. Lihatlah kepada diri sendiri, bagaimana Anda tidak berpegang pada etika jurnalistik yang membuat anak teknik menjadi jurnalis. Ketua A*I (beliau menyebut salah satu asosiasi profesi jurnalis) bukan Anda, tapi anak teknik”. Di kelas lain saya mendengar banyaknya pelanggaran logika bahasa, etika jurnalistik, dan aspek pendidikan publik dalam berbagai media dan karya jurnalistik di Indonesia. Bahkan, di negara terdemokratis se-Asia Tenggara ini tidak ada media yang memosisikan diri sebagai Serious Paper yang benar-benar memokuskan diri pada kebijakan publik, kepedulian sosial, kepatuhan hukum, dan etika jurnalistik. Kebanyakan adalah Popular Papers yang menganggap informasi sebagai komodifikasi atau perubahanan nilai-nilai menjadi suatu hal yang dapat diperjualbelikan. Merekalah pelaksana kapitalisme yang taat. Sisanya lebih parah lagi, Sensational Papers yang sensational dengan memberitakan (dan menceritakan bagaimana cara) pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan politik dengan bahasa ‘menjijikkan’. Mereka adalah media yang tidak mendidik, malah menunjukkan apa itu porno, kejahatan, dan kelicikan politik kepada pembaca mereka.
Jika saya melihat catatan saya yang mengumpulkan seluruh ilmu dari kelas-kelas jurnalisme, saya tercengang. Tidak ada pasal-pasal undang-undang yang harus dihapal advokat, tidak ada sederetan penyakit yang harus dipahami dokter, dan tidak ada neraca yang harus diseimbangkan akuntan di dalamnya. Tidak ada hal yang membuat orang tua ‘memaksa’ anaknya menjadi jurnalis. Tidak ada jaminan jurnalis menjadi orang kaya. Bahkan ada pertanyaan besar, apakah jurnalis adalah sebuah profesi? Apakah semua orang bisa menjadi jurnalis tanpa melewati pendidikan dan sertifikasi tertentu? Saya hanya menemukan aturan tulis-menulis, potret-memotret, dan shooting video jurnalistik di dalam catatan saya.
Lalu apa yang membuat banyak orang ingin menjadi jurnalis, jika tidak ada jaminan kekayaan di dalamnya? Mungkinkah mereka ingin menjadi martir atau syahid seperti Veronica Guerin? Ia adalah jurnalis Sunday Independent yang membela keselamatan anak muda dari narkoba di Republik Irlandia. Ataukah, mereka putus asa dengan apa yang mereka pelajari di dunia kampus yang tidak bisa dipraktekkan dalam dunia nyata, sehingga mereka pindah menjadi jurnalis?
Entahlah, apapun motivasi ‘mereka’, saya tidak tahu, tapi saya tahu pasti motivasi ‘saya’ dalam jurnalisme. Saya ingin perubahan. Saya ingin Indonesia menjadi lebih baik dengan tulisan saya. Saya ingin seperti Guerin yang berani membela prinsip jurnalisme.
Jika ada banyak orang ingin menjadi jurnalis, lalu apa ada kriteria yang membuat kita dapat menjadi jurnalis yang baik dan profesional? Semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis amatir adalah kaum yang layak diapresiasi. Amatir bukan berarti tidak tahu apa-apa. Pecinta atau hobbyist suatu bidang itulah yang disebut amatir. Jurnalis amatir banyak di Indonesia, tapi jurnalis profesional sedikit. Hal ini terlihat dari karya jurnalistik yang cenderung ‘berdasarkan cinta jurnalis’ bukan ‘berdasarkan keahlian jurnalis’. Tentu saja, karena banyak jurnalis amatir, jurnalis yang mencintai jurnalisme, semakin banyaklah karya jurnalistik yang tergantung cinta jurnalisnya. Karya tersebut bisa jadi mengolok pemerintah, menghasut dengan opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan menjadi ‘terdepan mengaburkan’ masyarakat. Semuanya tergantung pada apa yang ‘dicintai’ jurnalis amatir tersebut.
Satu hal yang membuat jurnalis menjadi profesional, terlepas dari ia lulusan sekolah komunikasi terbaik, lulusan teknik, lulusan berbagai jurusan di FISIP, bahkan terlepas dari ia sebenarnya seorang Office Boy (OB) yang dilatih memegang kamera dan microphone untuk mengejar-ngejar selebritas, adalah etika dan prinsip yang ia pegang. Etika jurnalisme, lebih dari etika jurnalistik dan prinsip yang ia pegang menunjukkan ia berniat menjadi jurnalis profesional.
Etika dan prinsip tidak dapat diukur seperti hukum. Mereka tidak dapat menjerat seseorang ke dalam penjara, jika ia melanggar mereka. Mereka hanya tumbuh dari kesadaran. Bagi saya, seseorang tidak bisa menjadi jurnalis profesional, jika ia tidak sadar apa keahliannya, kepada siapa kesetiaannya, dan apa tujuannya. Jurnalisme memang bukan agama, tapi ia adalah profesi yang bertugas mengingatkan manusia dan jurnalisnya sendiri akan etika dan prinsip-prinsip mulia kehidupan, termasuk kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Memang tidak hanya itu syarat menjadi jurnalis, ada berbagai aspek lain, namun paling tidak itu adalah dasar utamanya. Kenyataan bahwa jurnalisme bertujuan untuk memberi informasi penting pada masayarakat menjadikan jurnalisme berisi materi yang dapat membantu masyarakat melihat secara menyeluruh, jelas, dan berpihak kepada diri mereka sendiri, tidak kepada pemerintah, bahkan pada media sendiri. Kenyataan itu membuat jurnalis harus memenuhi syarat tertentu, agar profesi ini tetap ada dan berpihak kepada masyarakat.
Kemudian, apa yang terjadi, jika seorang jurnalis tidak memiliki dasar etika dalam diri mereka. Jika kita berpikir melalui kacamata Uses and Gratification, sebuah teori tentang media yang mengungkapkan bahwa audience media secara sadar memilih dan mengambil manfaat dari media yang ia baca, dengar, atau tonton, kita akan menyimpulkan secara ‘logis’. Kesimpulan tersebut dapat berupa apatisme, yaitu jika mereka tidak suka dengan cara jurnalis yang memberitakan peristiwa dan masalah secara tidak etis, mereka tinggal tidak membacanya saja, dan berganti ke media lain. Pemikiran tersebut masuk akal, bukan?
Berganti media tidak menyelesaikan masalah, jika masalahnya terletak pada kelemahan etika jurnalis. Etika jurnalistik yang sekarang ada di Indonesia masih jauh dari standarnya. Masih ada media yang menampilkan darah dan hal-hal keji lain, selain masih banyak praktek-praktek pemberian stereotip pada pemberitaannya. Darah sebenarnya tidak boleh diungkapkan, karena ada beberapa orang yang mual dengannya, selain itu hal tersebut tidak menambah kepercayaan warga pada masyarakat, malah membuat mereka semakin ngeri dan ketakutan. Jika memang tujuan dari jurnalisme adalah menakuti, lalu apa bedanya dengan novel thriller atau novel pembunuhan?
Etika yang awalnya tidak disadari, kemudian akan menjadi dijauhi dan disepelekan. Pada akhirnya etika tersebut ditinggalkan, malah jurnalis yang melaksanakannya akan dianggap kolot dan aneh. Pemikiran ini diperparah dengan cara pikir tentang hukuman. Ada kecenderungan manusia untuk tidak menaati suatu hukum atau suatu etika, jika tidak ada hukumannya. Hal itu mudah dipahami dari beberapa agama yang mengajarkan konsep surga dan neraka. Neraka menunjukkan psikologi manusia yang tidak tergerak atau tidak disiplin, kecuali ada hukuman yang mengancam mereka. Seharusnya jurnalis tidak berpikir tentang ‘neraka’, tetapi tentang ‘surga’. Tujuan awal jurnalisme adalah membantu masyarakat meningkatkan taraf hidup dan kebebasan mereka, atau dengan kata lain jurnalisme tidak bertujuan menakuti pembaca, melainkan membantu mereka menciptakan ‘surga’ dalam masyarakat.


   

Utama Menjadi Jurnalis (Profesional) di Indonesia
in Opini Umum by Ahmad Tombak Islam Al Ayyubi — 11 November 2011 at 10:56 | 3 comments —dibaca 458 kali
Suatu siang saya sedang mengunjungi kontrakan teman. Saya tinggal berdekatan dengannya selama awal kuliah, sebelum saya akhirnya pindah ke tempat keluarga. Selain untuk bersilaturahmi, saya berniat untuk pinjam buku yang penting bagi kuliah saya dalam bidang jurnalisme. Dosen saya menyuruh kami sekelas untuk mereview buku tersebut. Pengarangnya sering disebut sebagai ‘Nabi Jurnalisme’, dan banyak orang di Indonesia yang benar-benar menganggap beliau seperti itu, bahkan menganggap jurnalisme sendiri sebagai sebuah ‘agama’. Semuanya berjalan akrab, hingga akhirnya teman saya berkomentar tentang keinginan saya untuk pinjam buku, “Dulu gue ajak lo ngomongin buku ini, lo ga tahu apa-apa. Sekarang lo malah pinjam buku ini dari gue.”. Ia kemudian tertawa. Aku tahu ia bermaksud becanda. Mungkin kami sudah akrab, sehingga ia bisa selepas itu berbicara, tapi dalam hati saya yang sudah terikat dengan jurnalisme, saya sungguh sakit hati.
 kesalahan dia berbicara seperti itu, ini adalah kegalauan rumit dalam hati saya. Perasaan ini mengendap begitu dalam pada alam bawah sadar saya. Sebenarnya saya harus ‘berterima kasih’ kepada teman saya tersebut. Dialah yang menjadi pemantik dari sakit hati ini. Saya tahu dia memang suka berbicara ‘seperti itu’, ditambah kenyataan bahwa saya orang yang sensitif. Saya sebenarnya benci cara orang memandang jurnalisme seperti itu. Saya benci jurnalisme dianggap sebagai sesuatu yang gampang. Saya benci orang tidak paham filosofi, ilmu, seni, dan teknik di dalamnya. Kita bahkan dapat temukan betapa banyak orang yang tidak bisa membedakan antara jurnalistik dengan jurnalisme. Jangan-jangan Anda adalah salah satu dari mereka?
Beberapa dosen saya membahas hal ini dalam beberapa kuliah. Mereka menganggap hal ini sebagai hal yang ‘spesial’. Begitu rumitnya masalah ini, sehingga mereka yang kebanyakan mantan wartawan itu hanya bertanya balik kepada kami, mahasiswanya. Ada juga yang menyindir secara halus dalam guyonannya. Seorang dosen Etika Jurnalisme mengungkapkannya secara ‘ketat’, seketat etika jurnalisme sendiri, “IPB, Institut Publisistik B*g*r. Jangan salahkan mereka yang memasuki bidang Anda. Lihatlah kepada diri sendiri, bagaimana Anda tidak berpegang pada etika jurnalistik yang membuat anak teknik menjadi jurnalis. Ketua A*I (beliau menyebut salah satu asosiasi profesi jurnalis) bukan Anda, tapi anak teknik” Di kelas lain saya mendengar banyaknya pelanggaran logika bahasa, etika jurnalistik, dan aspek pendidikan publik dalam berbagai media dan karya jurnalistik di Indonesia. Bahkan, di negara terdemokratis se-Asia Tenggara ini tidak ada media yang memosisikan diri sebagai Serious Paper yang benar-benar memokuskan diri pada kebijakan publik, kepedulian sosial, kepatuhan hukum, dan etika jurnalistik. Kebanyakan adalah Popular Papers yang menganggap informasi sebagai komodifikasi atau perubahanan nilai-nilai menjadi suatu hal yang dapat diperjualbelikan. Merekalah pelaksana kapitalisme yang taat. Sisanya lebih parah lagi, Sensational Papers yang sensational dengan memberitakan (dan menceritakan bagaimana cara) pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan politik dengan bahasa ‘menjijikkan’. Mereka adalah media yang tidak mendidik, malah menunjukkan apa itu porno, kejahatan, dan kelicikan politik kepada pembaca mereka.
Jika saya melihat catatan saya yang mengumpulkan seluruh ilmu dari kelas-kelas jurnalisme, saya tercengang. Tidak ada pasal-pasal undang-undang yang harus dihapal advokat, tidak ada sederetan penyakit yang harus dipahami dokter, dan tidak ada neraca yang harus diseimbangkan akuntan di dalamnya. Tidak ada hal yang membuat orang tua ‘memaksa’ anaknya menjadi jurnalis. Tidak ada jaminan jurnalis menjadi orang kaya. Bahkan ada pertanyaan besar, apakah jurnalis adalah sebuah profesi? Apakah semua orang bisa menjadi jurnalis tanpa melewati pendidikan dan sertifikasi tertentu? Saya hanya menemukan aturan tulis-menulis, potret-memotret, dan shooting video jurnalistik di dalam catatan saya.
sLalu apa yang membuat banyak orang ingin menjadi jurnalis, jika tidak ada jaminan kekayaan di dalamnya? Mungkinkah mereka ingin menjadi martir atau syahid seperti Veronica Guerin? Ia adalah jurnalis Sunday Independent yang membela keselamatan anak muda dari narkoba di Republik Irlandia. Ataukah, mereka putus asa dengan apa yang mereka pelajari di dunia kampus yang tidak bisa dipraktekkan dalam dunia nyata, sehingga mereka pindah menjadi jurnalistik. Entahlah, apapun motivasi ‘mereka’, saya tidak tahu, tapi saya tahu pasti motivasi ‘saya’ dalam jurnalisme. Saya ingin perubahan. Saya ingin Indonesia menjadi lebih baik dengan tulisan saya. Saya ingin seperti Guerin yang berani membela prinsip jurnalisme.
Jika ada banyak orang ingin menjadi jurnalis, lalu apa ada kriteria yang membuat kita dapat menjadi jurnalis yang baik dan profesional? Semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis amatir adalah kaum yang layak diapresiasi. Amatir bukan berarti tidak tahu apa-apa. Pecinta atau hobbyist suatu bidang itulah yang disebut amatir. Jurnalis amatir banyak di Indonesia, tapi jurnalis profesional sedikit. Hal ini terlihat dari karya jurnalistik yang cenderung ‘berdasarkan cinta jurnalis’ bukan ‘berdasarkan keahlian jurnalis’. Tentu saja, karena banyak jurnalis amatir, jurnalis yang mencintai jurnalisme, semakin banyaklah karya jurnalistik yang tergantung cinta jurnalisnya. Karya tersebut bisa jadi mengolok pemerintah, menghasut dengan opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan menjadi ‘terdepan mengaburkan’ masyarakat. Semuanya tergantung pada apa yang ‘dicintai’ jurnalis amatir tersebut.
Satu hal yang membuat jurnalis menjadi profesional, terlepas dari ia lulusan sekolah komunikasi terbaik, lulusan teknik, lulusan berbagai jurusan di FISIP, bahkan terlepas dari ia sebenarnya seorang Office Boy (OB) yang dilatih memegang kamera dan microphone untuk mengejar-ngejar selebritas, adalah etika dan prinsip yang ia pegang. Etika jurnalisme, lebih dari etika jurnalistik dan prinsip yang ia pegang menunjukkan ia berniat menjadi jurnalis profesional.
Etika dan prinsip tidak dapat diukur seperti hukum. Mereka tidak dapat menjerat seseorang ke dalam penjara, jika ia melanggar mereka. Mereka hanya tumbuh dari kesadaran. Bagi saya, seseorang tidak bisa menjadi jurnalis profesional, jika ia tidak sadar apa keahliannya, kepada siapa kesetiaannya, dan apa tujuannya. Jurnalisme memang bukan agama, tapi ia adalah profesi yang bertugas mengingatkan manusia dan jurnalisnya sendiri akan etika dan prinsip-prinsip mulia kehidupan, termasuk kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Memang tidak hanya itu syarat menjadi jurnalis, ada berbagai aspek lain, namun paling tidak itu adalah dasar utamanya. Kenyataan bahwa jurnalisme bertujuan untuk memberi informasi penting pada masayarakat menjadikan jurnalisme berisi materi yang dapat membantu masyarakat melihat secara menyeluruh, jelas, dan berpihak kepada diri mereka sendiri, tidak kepada pemerintah, bahkan pada media sendiri. Kenyataan itu membuat jurnalis harus memenuhi syarat tertentu, agar profesi ini tetap ada dan berpihak kepada masyarakat.
Kemudian, apa yang terjadi, jika seorang jurnalis tidak memiliki dasar etika dalam diri mereka. Jika kita berpikir melalui kacamata Uses and Gratification, sebuah teori tentang media yang mengungkapkan bahwa audience media secara sadar memilih dan mengambil manfaat dari media yang ia baca, dengar, atau tonton, kita akan menyimpulkan secara ‘logis’. Kesimpulan tersebut dapat berupa apatisme, yaitu jika mereka tidak suka dengan cara jurnalis yang memberitakan peristiwa dan masalah secara tidak etis, mereka tinggal tidak membacanya saja, dan berganti ke media lain. Pemikiran tersebut masuk akal, bukan?












   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar